Ihwanul muslimin ...
Pada kesempatan mulia menjelang Romadhon ini, kami sampaikan kehadapan anda tentang asal usul kita sebagai manusia, yang dalam hal ini adalah penciptaan Nabi Adam AS. Mari kita simak bersama ...
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam ‘alaihi salam berdasarkan bentuk-Nya.”
Disebutkan dalam riwayat Ahmad dan sejumlah ahli hadits,
عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ
“..berdasarkan bentuk ar-Rahman (Allah).”
Jadi dhamir (kata ganti ketiga) dalam hadits pertama kembali kepada Allah.
Para ulama seperti Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ulama salaf lainnya berkata, “Kita wajib menetapkannya seperti yang dikabarkan sesuai dengan aspek yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyamakan, menyerupakan dan meniadakan.
Hal itu tidak berarti bentuk Allah seperti bentuk manusia, sebagaimana saat menetakan wajah, tangan, jari, telapak kaki, ridha, marah dan yang lainnya dari sifat Allah bukan berarti hal itu sama dengan sifat-sifat manusia.
Allah disifati sesuai dengan apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya atau yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berdasarkan aspek yang layak bagi-Nya tanpa ada kesamaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS asy-Syura: 11)
Jadi kita wajib menetapkannya seperti dimaksudkan Nabi tanpa takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (penyerupaan).
Sedangkan makna hadits di atas – wallahu a’lam – Allah menciptakan Adam berdasarkan bentuk-Nya yang memiliki wajah, pendengaran dan penglihatan, dapat mendengar, berbicara, melihat dan berbuat apa saja yang ia inginkan. Namun tidak berarti bahwa wajahnya seperti wajah Allah, pendengarannya seperti pendengaran Allah, penglihatannya seperti penglihatan Allah dan seterusnya. Dan tidak berarti bahwa bentuknya seperti bentuk Allah.
Inilah kaidah umum dalam masalah ini bagi ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu menetapkan ayat dan hadits yang menerangkan sifat-sifat Allah seperti zhahirnya tanpa tahrif (menyelewengkan makna), takyif (menanyakan bagaimana), tanpa tamtsil (menyerupakan) dan tanpa ta’thil (meniadakan), tapi mereka menetapkan nama dan sifat-sifat Allah dengan penetapan tanpa tamtsil dan mereka mensucikan Allah dari menyamakan-Nya dengan makhluk-Nya dengan pensucian tanpa ta’thil.
Berbeda dengan ahli bid’ah dari golongan Mu’aththilah (menolak sifat-sifat Allah) dan Musyabbihah (menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya).
Karena pendengaran, penglihatan dan pengetahuan makhluk tidak sama dengan pendengaran, penglihatan dan pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekalipun keduanya sama dalam sifat pengetahuan, pendengaran dan penglihatan, tapi yang khusus bagi Allah tidak sama dengan yang dimiliki oleh seorang pun dari makhluk-Nya dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Karena sifat-sifat Allah sempurna, tidak ada kekurangan dari segala sisi.
Sedangkan sifat-sifat makhluk memiliki kekurangan dan dapat hilang baik dalam hal pengetahuan, pendengaran, penglihatan dan segala sesuatu. Wallahu waliyyut taufiq. (Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
***
Disusun ulang dari Menjawab Ayat dan Hadits kontroversi Tim Dar ats-Tsabat penerbit Pustaka at-Tazkia 2010.